dc.description |
Dunia pendidikan di era global ini seringkali dikotori dengan berbagai tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai pendidik. Berbagai isu menyangkut tindakan amoral yang dilakukan oleh para pendidik, baik dalam ruang lingkup akademis maupun praksis. yang seringkali berujung pada dijatuhkannya sanksi hukum dan sekaligus sanksi sosial kepada yang bersangkutan, ternyata tidak selalu dapat memberikan efek jera kepada para pelakunya. Sebut saja tindakan plagiarisme hingga tindakan pelecehan seksual terhadap mahasiswa yang dididiknya, merupakan tindakan tak bermoral yang sesungguhnya sama sekali tidak mencerminkan pribadi seorang pendidik. Menerabas dengan bebas semua nilai-nilai luhur yang terutama hams ada dalam dunia pendidikan adalah pengkhianatan terhadap profesi pendidik yang disandangnya, terlebih jika dikaitkan dengan dirinya yang kemungkinan besar adalah juga seorang rohaniwan. Tentu saja hal semacam ini menjadi pergumulan tersendiri bagi dunia Pendidikan, khususnya di level Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen (PTKK), yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Seminari. Memang benar, saat ini penyelenggaraan pendidikan berbasis teologi Kristen telah berkembang dengan ragam yang sangat variatif, namun dalam hal integritas dan keluhuran yang membentuk autentisitas pendidiknya seharusnya tidak ada yang bergeser, Yang jelas, sebagai pendidik di PTKK yang sebagian besar pendidiknya berlatar belakang ilmu teologi, tentulah ada standar moral dan spiritual yang dituntut Iebih tinggi. Alasan yang sangat mendasar adanya tuntutan ini dikarenakan dalam diri seorang pendidik dalam ranah keilmuan teologi seyogyanya memiliki pemahaman bahwa kehidupannya melekat dengan sebutan pelaku dari kebenaran Allah yang tertulis di dalam Firman Tuhan. Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa moralitas dan integritas yang mewujud pada autentisitas diri sebagai pendidik adalah tuntutan yang tidak mungkin dipisahkan dari panggilannya untuk melayani di dunia pendidikan. Ketika seseorang memenuhi panggilan Allah dalam hidupnya, maka tuntutan mutlak dari dalam dirinya adalah menjadi benar dan autentik dalam menjalankan panggilannya terkait otoritas yang diberikan. Autentik adalah sebuah kata yang merujuk pada pengertian kehidupan yang berharga, benar, dan pantas untuk dijalani (a lift worth living). Setiap seorang Kristen, apalagi sebagai pendidik yang sekaligus juga seorang rohaniwan, tentulah memahami bahwa standar untuk hidup yang autentik adalah Yesus Kristus, karena Dialah contoh paling konkrit dan sempuma ketika berbicara tentang keautentikan. Itu sebabnya sebagai konsekuensi dari imannya kepada Kristus, setiap orang percaya dituntut untuk meneladani dan memiliki keautentikan hidup yang ada di dalam diri Yesus Kristus (lihat 1 Petrus 2:21). Seperti halnya yang dikatakan oleh James MacDonald, ''The more we can be like Jesus, the more we will be living an authentic life" Tidak ada hal yang tersisa dari seorang pendidik, jika ia tidak dapat memenuhi tuntutan autentisitas pada dirinya. |
en_US |