dc.description |
Seorang dosen teologi di USA pemah bercerita mengenai keluhan seorang mahasiswa program M.Div. Mahasiswa itu mengeluh mengapa dia harus belajar baliasa Yunani, Ibrani, Filsafat, teori-teori Hermeneutika, dan lainnya. Dia nierasa terpanggil menjadi hamba Tuhan untuk melayani Tuhan, dan cukuplah baginya kalau dia diajari cara melayani dan khususnya cara berkolbah. Dosen itu menjawab dia dengan mengatakan kalau keluhan demikian dia sampaikan di fakultas kedokteran, niscaya mahasiswa tersebut akan dikeluarkan dari bangku kuliah. Bayangkan mahasiswa kedokteran tidak mau mempelajari dasar-dasar dan teori-teori kedokteran, tetapi merasa cukup diajarkan hanya cara menyuntik dan cara membuat resep obat. Kejadian seperti ini, dalam satu dan lain varian, sering muncul di Sekolah Tinggi Teologi di tanah air. Hal ini ironis. Fakultas kedokteran yang menghasilkan orang-orang untuk menjaga dan merawat kesehatan ragawi menetapkan standar yang sangat tinggi untuk lulusannya. Sekolah Tinggi Teologi yang ingin menghasilkan orang-orang yang dapat menjaga, merawat, dan mengasuh kesehatan rohani manusia untuk hidup yang kekal seringkali justru teledor dan mengkompromikan kualitas pembelajaran dan kualitas lulusan. Akhirnya, mahasiswa yang menjadi korban. Lulusan yang sekadamya niscaya pada gilirannya akan mengorbankan dan merusak Gereja dan masyarakat. |
en_US |