dc.description |
Saat ini, penggunaan bahasa Indonesia kelihatannya sudah
mendominasi ibadah minggu di banyak gereja, termasuk gereja etnik.
Bahasa daerah sudah makin ditinggalkan penggunaannya dalam ibadah
di banyak gereja makin kecil jumlahnya. Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP) jemaat Rawamangun-Pulomas, sebagai contoh, memakai bahasa
Indonesia dalam dua dari tiga ibadah setiap minggu. Jadi, hanya satu
kali ibadah yang dilakukan dalam bahasa Karo. Satu sisi, hal ini tentu
sedikit menimbulkan pertanyaan karena gereja ini berbasis etnik, yaitu
Karo. Namun, di sisi lain, dengan menyediakan layanan ibadah berbahasa
Indonesia, GBKP sedang membuka kesempatan suku etnis lain bergabung
dalam persekutuannya. Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) pada
tanggal 1–3 Agustus 2023 mengadakan seminar dengan tema “Quo Vadis Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia”, bertempat di Bumi Serpong
Damai. Seminar dimaksudkan untuk mengonstatasi hal-hal yang membuat
makin berkurangnya ibadah berbahasa Mandarin. PGTI berharap seminar
itu menghasilkan solusi agar gereja Tionghoa tidak kehilangan budaya
aslinya, agar ibadah dalam bahasa Mandarin tetap lestari. Pergeseran penggunaan bahasa daerah ke bahasa nasional
yang terjadi belakangan ini mau tidak mau membuat banyak orang
mempertanyakan keberadaan gereja etnik. Masihkah gereja etnik relevan
bagi kehidupan bergereja masa kini? Dua pemahaman di bawah ini
semoga bisa menjadi jawaban terhadap pertanyaan itu. |
en_US |