dc.description |
Kehidupan sebagai komunitas memiliki berbagai keberagaman.
Kaufmann dalam bukunya Reconnecting the Church memperlihatkan
setidaknya ada beberapa macam keberagaman dalam sebuah komunitas
kota, yang juga bisa diartikan sebagai komunitas masyarakat. Ia membaginya
dalam tiga kelompok besar: keberagaman dalam etnis, keberagaman
dalam kelas ekonomi, dan kelompok yang terpinggirkan.
Keberagaman,
di satu pihak, membawa keindahan karena memiliki berbagai variasi, tetapi
di lain pihak bisa juga menimbulkan ketidaknyamanan bahkan konflik
bila tidak disikapi dan dijalani dengan benar. Realitas dalam kehidupan
bermasyarakat menunjukkan betapa banyak dan rentannya keberagaman
dalam dunia. Konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menjadi torehan yang mewarnai sejarah Indonesia di berbagai tempat.
Kehidupan
bergereja sebagai sebuah komunitas yang lebih khusus dan lebih kecil
(dibanding dengan keseluruhan masyarakat), ternyata tidak lepas dari
kenyataan hadirnya keberagaman, baik secara etnik atau kelas sosial
ekonomi, serta mereka yang terpinggirkan karena keterbatasan. Ada
banyak masalah yang timbul dalam kehidupan bersama sebagai umat
hingga menjadi pergumulan Gereja. Gereja mula-mula seperti di Korintus, mengalami konflik
keberagaman antara jemaat Yahudi dan non-Yahudi, antarkelompok yang
mengidolakan pemimpin. Jemaat di Roma berkonflik antara mereka yang
“kuat rohani” dengan yang “lemah rohani” khususnya dalam masalah
makanan. Masalah perhatian kepada janda dan orang miskin bukan Yahudi
yang dicatat di Kisah Para Rasul 6 merupakan bukti adanya kesenjangan.
Hari ini, permasalahan keragaman juga menjadi hal yang tidak asing dalam
kehidupan bergereja.
Dalam perspektif eklesiologi atau pemahaman tentang Gereja,
memang sangat jelas bahwa Tuhan menjadikan Gereja sebagai satu
komunitas yang merupakan organisme dengan keterikatan dan relasi
yang kuat dalam Kristus. Ada banyak tulisan dan gambaran yang
sudah dikemukakan dalam firman Tuhan yang menunjukkan bagaimana
seharusnya keberadaan Gereja. Salah satu di antaranya adalah gambaran
Gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai Kepala (Ef. 4:15, 16).
Gambaran ini dengan jelas memperlihatkan bagaimana keberagaman
dilihat sebagai satu kesatuan seperti tubuh yang memiliki berbagai anggota,
yang bersama sebagai sebuah kesatuan bertumbuh tanpa mengabaikan
salah satu bagian dan bersama berperan dalam pertumbuhan yang
serasi. Kristus adalah Kepala yang menjadi Sumber dan Pemimpin dari
kesatuan komunitas Gereja. Sebagai tubuh Kristus yang bersama dalam
ketaatan kepada Kristus yang adalah Kepala, Gereja berkarya menyatakan
pekerjaan Allah di tengah dunia.
Gambaran tubuh yang terdiri dari berbagai anggota yang berbeda dengan keunikannya juga dikemukakan oleh Paulus dalam suratnya
kepada jemaat di Korintus (1Kor. 12:12–27). Perikop ini berbicara tentang
keberagaman dari sisi etnis antara orang Yahudi dan Yunani, juga dari sisi
posisi sebagai hamba dan orang merdeka. Gambaran yang dikemukakan
dalam perikop tersebut menunjukkan bahwa konflik dan kerentanan juga
mewarnai kehidupan berjemaat di Korintus. Paulus dengan gamblang
mengingatkan bagaimana menyikapi perbedaan dalam keberagaman
yang menjadi realitas dalam kehidupan bergereja.
Dalam keterbatasan yang ada, tulisan ini akan mengangkat salah
satu dari sekian banyak pergumulan yang dialami Gereja, yaitu dalam
mengatasi masalah karena adanya keberagaman dari sisi kelas sosial
ekonomi. Realitas adanya kelas dalam kehidupan bersama, termasuk
dalam kehidupan bergereja, perlu untuk diakui dan disikapi. Pertanyaan
yang perlu dijawab bukan hanya tentang “mengapa” (yang juga penting),
tetapi lebih kepada “bagaimana” Gereja bersikap dan bertindak untuk
mengatasi permasalahan ini. |
en_US |