dc.description |
Saat memasuki sebuah kafe, umumnya kita akan disambut
dengan aroma kopi, musik yang enak di telinga, dan sapaan bersahabat
dari para barista. Namun, tidak semua kafe seperti ini. Ada sebuah kafe
yang unik. Memasuki kafe ini, pengunjung akan disambut dengan suasana
hening beraroma harum kopi disertai pemandangan para barista yang
melayani dalam keheningan, juga dengan sapaan yang unik. Kafe tersebut
dilayani oleh para barista dari teman tuli, demikian sebutannya, yang
memiliki keterbatasan pendengaran, tetapi diberi pelatihan sehingga
dapat berkarya. Keterbatasan untuk mendengar dan berbicara tidak
menghalangi teman tuli dalam melayani para pengunjung.
Rasa penasaran ingin tahu, sedikit gugup ketika memesan karena
tidak bisa berbahasa isyarat, terkagum dengan kesigapan para barista
dalam melayani pelanggannya, bercampur dalam diri. Nyatanya perasaan-
perasaan itu akhirnya memupus rasa asing yang unik, ketika memasuki
ruangan kafe sunyi itu. Keheningan yang tercipta bahkan memberi banyak
kesempatan memperhatikan dalam diam, merenung, berpikir reflektif, melihat persamaan, menerima perbedaan, dan mengakui kemampuan
serta karakteristik unik seseorang mengenal lingkungan lebih baik.
Perjumpaan singkat itu memberi kesempatan belajar untuk bersikap
inklusif. Hal ini memperlihatkan bahwa proses belajar tidak hanya terjadi
dalam bentuk formal—melibatkan lembaga pendidikan dengan kurikulum
yang telah dirancang dan terstruktur. Proses belajar juga dapat terjadi
pada ruang lingkup pembelajaran informal dan non-formal. Alkitab mencatat jawaban Yesus atas keragu-raguan Yohanes
dalam Matius 11:5. Yesus dengan jelas menyatakan tindakan-Nya untuk
menyembuhkan yang buta, lumpuh, tuli, kusta, dan untuk memberitakan
kabar baik. Yesus menjangkau dan memberikan pelayanan, menjawab
kebutuhan umat dengan keterbatasannya. Gereja saat ini juga dipanggil
untuk memberitakan kabar baik kepada semua orang, memberikan
pelayanan kepada jemaat, termasuk mereka yang mengalami keterbatasan.
Perjuangan mengembangkan inklusivitas dalam kehidupan
berjemaat membutuhkan berbagai upaya semua pihak. Meningkatkan
pemahaman atas kondisi dan kebutuhan jemaat dengan disabilitas,
dapat menjadi awal yang tepat untuk mengembangkan sikap inklusif
jemaat dalam menerima perbedaan, memandang dengan kesetaraan bahkan merangkul jemaat dengan disabilitas. Dengan memberikan dasar
pemahaman, mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi, serta
mencari solusi atas kondisi tersebut, diharapkan gereja dapat menjadi
tempat yang ramah bagi setiap anggotanya, tanpa memandang perbedaan
kondisi atau kemampuan fisik mereka. |
en_US |