Abstract:
Ibadah virtual/online bukan hanya sebagai pengganti ibadah onsite di tengah pandemi ini atau sebagai ibadah yang kurang sakral dari yang seharusnya atau yang memberikan dampak buruk karena media digital yang digunakan. Itu sebabnya, respons pragmatis tidak cukup untuk merangkul ibadah virtual/online, melainkan gereja perlu merangkulnya dengan pemahaman bahwa pengalaman esensial, yaitu pengalaman transendensi, sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan dalam ibadah virtual/online. Keniscayaan tersebut dilihat dari dua hal, pertama, sifat imanen dan mediated dari teori pengalaman transendensi selama ini yang selaras dengan sifat ibadah virtual/online itu sendiri. Kedua, keniscayaan tersebut ditinjau dari refleksi terhadap seni digital intermedia teori Elwell Sage. Pengalaman esensial justru terjadi ketika komposisi digital secara sengaja “dikorbankan” untuk digabungkan dengan objek nyata yang rentan dengan kesalahan, untuk dihubungkan kepada pengalaman liminal, atau pengalaman ambang antara keterbatasan dan ketidakterbatasan. Sekali lagi, ini selaras dengan sifat pengalaman transendensi dalam ibadah. Rangkulan gereja kepada ibadah virtual/online dengan pemahaman keniscayaan tersebut dapat mendorong gereja untuk berefleksi dan bertindak lebih dalam di konteks yang aktual.