Description:
Ketika penulis fiksi kenamaan, William Gibson, berujar, “The future is already here—it's just not very evenly distributed,” realitas yang hendak digambarkan bukanlah bahwa manusia sudah berada di masa depan. Persoalan utama yang hendak diangkat oleh Gibson adalah ketimpangan sosial di dalam masyarakat yang ditunjukkan lewat kehadiran masa depan yang tidak merata di semua kalangan. Sementara orang yang kaya sudah menikmati kenyamanan yang ditawarkan oleh masa depan, orang yang miskin masih bergumul dengan berbagai kesulitan hidup yang sering kali tidak jauh berbeda dari yang dialami oleh orang-orang di masa lampau. Kesenjangan sosial ini melahirkan upaya-upaya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih ideal, yang mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat. Masyarakat yang berkeadilan sosial ini sering kali dibayangkan pertama-tama sebagai sebuah utopia, kondisi ideal yang jauh dari realitas, yang menjadi cita-cita dari perjuangan. Upaya serupa untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial di Tengah kesenjangan sosial juga dapat diamati di dalam Imamat 25 lewat legislasi yang mengatur Tahun Sabat dan Tahun Yobel. Di dalam perikop ini, kesenjangan sosial di dalam masyarakat Israel kuno dijawab dengan sebuah visi keadilan sosial lewat aturan-aturan tentang administrasi kekayaan yang mengatur hal-hal seperti tanah, properti, utang-piutang, dan kontrak kerja. Artikel ini membahas visi keadilan sosial dalam Imamat 25 sebagai sebuah utopia yang lahir sebagai respons terhadap kondisi sosio-ekonomi dalam masyarakat Israel kuno, yang kemudian diadaptasi di dalam teks-teks terkemudian untuk menjawab berbagai pergumulan yang baru di masa depan. Artikel ini juga mendiskusikan bagaimana gereja memaknai perannya dalam pergumulan kemanusiaan di Indonesia dengan membandingkan visi keadilan sosial di dalam Imamat 25 dengan visi keadilan sosial di dalam Pancasila.