Description:
Salah satu jeritan gereja-gereja tradisional di Indonesia—termasuk
gereja-gereja Injili—adalah mereka secara perlahan tetapi pasti ditinggalkan
oleh kaum muda. Umumnya, setelah melewati masa remaja dan memasuki
usia dewasa muda, kaum muda tidak lagi beribadah ataupun terlibat dalam
kehidupan berjemaat di gereja lokal. Menghadapi kenyataan ini, gereja-
gereja tradisional Injili di Indonesia berusaha untuk menjadikan gereja
sebagai tempat yang terbuka bagi kaum muda. Mereka ingin kaum muda
tidak meninggalkan gereja melainkan tetap ada bersama untuk melalui
masa muda sampai kemudian meneruskan kehidupan jemaat di gereja
yang sama ketika sudah dewasa. Salah satu upaya untuk mengakomodasi
kaum muda adalah dengan mengubah model ibadah; yang tadinya bersifat
tradisional menggunakan lagu-lagu himne dan memiliki aturan yang ketat,
menjadi lebih modern, menggunakan lagu-lagu rohani kontemporer dan
suasana yang lebih cair dan kasual. Fenomena ini tampaknya akan terus
berlanjut melihat kenyataan bahwa kaum muda cenderung menyukai
pengalaman ibadah yang demikian. Akan tetapi, apakah mengubah gaya ibadah menjadi “muda”
dan “populer” adalah solusi yang paling tepat untuk menjadikan gereja
tradisional Injili menjadi gereja yang inklusif bagi kaum muda? Betulkah
cara ini menjawab masalah hilangnya kaum muda? Tentu butuh penelitian
mendalam untuk menjawabnya, dan artikel ini tidak punya ruang yang
cukup untuk itu. Artikel ini hanya akan memberikan deskripsi dan analisis
yang dapat menjadi pertimbangan bagi gereja-gereja tradisional Injili yang
ingin memilih cara ini dalam upaya mempertahankan kaum mudanya tetap
ada di gereja. Bagi gereja-gereja yang sudah dan sedang mengembangkan
ibadah kontemporer, tulisan ini juga dapat memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam mengevaluasi apa yang seharusnya dilakukan untuk
menjadi gereja yang inklusif bagi kaum muda.
Untuk tujuan di atas, ada tiga hal yang akan dibahas dalam tulisan
ini. Pertama, saya akan menggambarkan tentang terpisahnya kaum muda
dari dari gereja. Kedua, saya akan menceritakan kembali hasil dari focus
group discussion (FGD) yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin
dari delapan gereja tradisional Injili yang telah mengubah ibadah mereka
menjadi kontemporer. Deskripsi ini akan memberikan gambaran tentang
kondisi kaum muda sebelum mereka beralih ke ibadah kontemporer, motif
dan pergumulan yang dihadapi, serta pemikiran yang muncul setelah
perubahan terjadi. Ketiga, saya akan menyajikan berbagai informasi dan
analisis tentang gereja yang meremaja, yang fenomenanya sudah dibahas
lebih dari satu dekade. Pada bagian akhir saya akan memberikan refleksi
dan catatan hal-hal yang perlu diperhatikan bila ingin menjadi gereja yang
inklusif bagi kaum muda.