Description:
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam kehidupan berjemaat
dalam gereja mula-mula adalah ketegangan—bahkan permusuhan—yang
terjadi antara jemaat orang Yahudi dengan jemaat non-Yahudi. Banyak
bagian dalam Perjanjian Baru yang memperlihatkan realitas ketegangan
semacam itu di dalam gereja mula-mula.
Dalam kisah pelayanan Yesus,
nuansa permusuhan antara orang Yahudi dan non-Yahudi juga terlihat
ketika, misalnya, Yesus menghadapi permintaan seorang perempuan
Yunani untuk menyembuhkan putrinya yang dirasuk roh jahat (Mrk.
7:24–30). Dalam respons-Nya kepada perempuan itu, Yesus menyiratkan
pandangan banyak orang Yahudi yang menganggap orang non-Yahudi
sebagai “anjing” (7:27). Permusuhan antara dua etnis ini mempunyai sejarah panjang. Orang
non-Yahudi sulit memahami dan menerima budaya dan agama semitis
Yahudi yang sangat menekankan monoteisme. Kedua pihak ini mempunyai
stigma negatif kepada satu sama lain. Orang Yahudi memandang mereka
yang berbeda etnis sebagai “para penyembah berhala yang tidak
bersunat,” dan sebaliknya orang non-Yahudi dalam sentimen anti-semit
sering memberi label “para pembenci manusia (misanthropic)” kepada
orang-orang Yahudi.
Situasi permusuhan antara etnis Yahudi dengan non-Yahudi
berpotensi menimbulkan banyak masalah dalam gereja. Masing-masing
pihak membawa sikap curiga dan keengganan untuk bergaul sehingga
keberadaan mereka dalam gereja cenderung menjadi seperti air dan
minyak. Sikap antagonis antaretnis ini menjadi ancaman untuk tujuan
penting dari karya keselamatan Allah di dalam Kristus, yaitu inklusi orang-
orang non-Yahudi ke dalam bilangan umat Allah yang sejatinya adalah
kaum keturunan Abraham.
Rasul Paulus, sebagai salah satu penulis Perjanjian Baru, memberi
perhatian besar pada isu ketegangan etnis dalam gereja. Secara khusus,
dalam surat Efesus, Paulus memberi penekanan yang kuat terhadap
pentingnya persatuan antara orang Kristen Yahudi dan non-Yahudi di
dalam Kristus sebagai rencana Allah sendiri (misalnya dalam Ef. 2:11–22).
Paulus menawarkan visi Allah bahwa Gereja tidak seharusnya terkotak-kotak berdasarkan eksklusivitas satu etnis di atas etnis yang lain, melainkan
menjadi satu keluarga di mana keunikan etnis tidak menjadi penghalang
dalam relasi satu sama lain. Meskipun Paulus baru secara eksplisit
membahas isu persatuan antara jemaat Yahudi dengan non-Yahudi dalam
tubuh suratnya, dalam pembukaan surat Efesus, yaitu dalam ucapan
berkatnya (1:3–14), Paulus telah menanamkan dasar-dasar teologis yang
penting untuk mempersiapkan para pembacanya menerima nasihat yang
mendorong pada persatuan, baik di pikiran maupun hati mereka. Artikel ini bertujuan memperlihatkan
bagaimana Paulus merancang surat Efesus dengan
retorik yang teliti dan persuasif, sehingga pembukaan
suratnya (ucapan berkat dalam Ef. 1:3–14) mampu
berfungsi sebagai sebuah liturgi yang melatih pikiran
dan mental para pembacanya untuk menerima
dengan baik nasihat tentang persatuan yang akan
dipaparkan dalam bagian-bagian berikutnya dari
surat ini.
Argumen utama dalam artikel ini adalah
bahwa Paulus, dengan latar belakang ilmu retoriknya,
telah memakai ucapan berkat dalam surat Efesus
menjadi sebuah liturgi yang mempunyai kekuatan
persuasif yang menolong para pembacanya. Liturgi
ini bukan hanya menolong jemaat mengerti secara
kognitif tentang pentingnya persatuan, melainkan juga secara afektif
untuk mengejar terciptanya persatuan itu.