Description:
Pernahkah kita membaca nasihat: “Jikalau seseorang datang
kepadamu ..., janganlah menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah
memberi salam kepadanya?” Kalimat-kalimat dalam surat 2 Yohanes 1:10
ini merupakan larangan bagi orang Kristen tentang sikap mereka terhadap
sesama orang Kristen.Bagi orang Kristen zaman sekarang, kalimat “jangan
menerima dia dan jangan memberi salam kepadanya” mungkin kurang
nyaman di telinga atau terdengar sangat keras, apalagi kalau ditujukan
kepada sesama orang Kristen. Ketidaknyamanan ini bertambah jikalau
kita membaca kalimat selanjutnya: “Sebab, siapa yang memberi salam
kepadanya, ia mengambil bagian dalam perbuatannya yang jahat.” (2Yoh.
1:11). Tidak tertutup kemungkinan muncul kesan bahwa Alkitab dan
agama Kristen mengajarkan sikap eksklusif yang membatasi orang Kristen
bergaul dengan atau menerima kelompok lain, bahkan sekalipun mereka
yang lain ini adalah sesama orang Kristen. Ketika ditelusuri lebih lanjut, segera tampak bahwa latar belakang
dari peringatan keras di atas adalah berkaitan dengan “ajaran”. Selengkapnya penulis 2 Yohanes mengingatkan, “Jikalau seseorang
datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah menerima
dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya” (2Yoh.
1:10). Menurut penulis, orang yang tidak berpegang pada “ajaran ini”,
janganlah ia disambut sebagai sesama saudara atau sesama orang Kristen
karena dia telah melakukan perbuatan yang jahat (2Yoh. 1:11). Siapa yang
tidak membawa “ajaran ini” haruslah dianggap sebagai orang dari pihak
yang berbeda sehingga tidak boleh diterima dalam kehidupan jemaat
setempat. Mengapa surat 2 Yohanes mencantumkan kalimat-kalimat yang
demikian keras dan bernuansa ketidakramahan (hostility) yang mengarah
kepada eksklusivitas? Di pihak lain, bagaimana kesan kita terhadap ajaran agama Kristen
ketika menemukan kalimat “Saudaraku! Saudara begitu setia dalam
pekerjaan yang Saudara lakukan bagi teman-teman sesama Kristen;
bahkan orang Kristen yang belum Saudara kenal pun, Saudara layani.”
(3Yoh. 1:5 TAMK-LAI). Di sini kita dapat menemukan ajaran keramahan
(hospitability) yang bersifat merangkul dan bahkan inklusif. Mengapa
seseorang yang dipanggil “saudaraku” dapat berlaku demikian kepada
orang Kristen yang bahkan belum dikenalnya?
Ketika kedua bagian Alkitab ini disandingkan, apakah masih dapat
disimpulkan bahwa wajah agama Kristen semata-mata adalah eksklusif?
Ketika Alkitab mengajarkan sikap terbuka kepada sesama orang Kristen
yang asing, bukankah ada pesan inklusivitas di sana? Bagaimana kita dapat
belajar dimensi wajah agama Kristen yang lebih utuh dari teks-teks ini?