Description:
Salah satu pelayanan utama dalam kehidupan
gereja adalah khotbah. Setiap Minggu, firman Tuhan
disampaikan dan dijelaskan melalui khotbah. Sadar
atau tidak, umumnya isi dan aplikasi khotbah ditujukan
kepada kelompok mayoritas, sedangkan kelompok
minoritas cenderung kurang mendapat perhatian.
Di gereja dengan identitas kesukuan atau etnis
tertentu, misalnya, mengarahkan isi khotbah kepada
kelompok etnis tersebut dianggap hal yang lumrah
dan bahkan wajar. Hal ini tentu membuat isi khotbah
menjadi kurang aplikatif bagi etnis lain. Bukan hanya
tentang etnis, tetapi juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Contoh sederhana, khotbah dengan tema keluarga—
khususnya yang menekankan hubungan orang tua dan anak atau suami
dan istri—mungkin akan membuat mereka yang merantau, yang tidak
memiliki keluarga, atau yang single merasa bahwa ibadah dan khotbah
tersebut bukan untuk mereka. Dalam ibadah dan khotbah intergenerasi,
bisa jadi kelompok remaja dan anak-anak merasa jika keberadaan mereka
hanya sebagai “aksesori” dari usaha menyukseskan sebuah program.
Contoh-contoh mengenai golongan yang kadang terlewatkan masih bisa
bertambah, seperti kaum wanita, disabilitas/difabel, lansia, LGBT, para PRT
atau suster pendamping, dan seterusnya.
Jika ini adalah permasalahan
yang dihadapi, apakah ada cara untuk meningkatkan kesadaran para
pengkhotbah akan keberadaan dan kebutuhan kelompok minoritas
sehingga khotbah yang disampaikan bisa menjangkau kelompok tersebut? Dalam studi homiletika (ilmu khotbah), sudah ada beberapa usaha
untuk membantu pengkhotbah untuk menjangkau kelompok minoritas
dengan menggunakan berbagai perspektif yang memberi perhatian
terhadap konteks sosial-budaya dari jemaat.
Salah satu cara yang bisa
menolong ialah dengan memakai insight dari pendidikan multikultural
yang dicetuskan oleh James A. Banks.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menjawab pertanyaan: Mengapa mencari insight dari pendidikan multikultural? Pertama, pada
dasarnya, salah satu fungsi utama khotbah adalah untuk mendidik
jemaat agar mereka memahami suatu kebenaran dan menghidupinya.
Jadi, khotbah masih beririsan dengan studi pendidikan (education).
Kedua, jemaat yang kita layani berasal dari berbagai konteks sosial-
budaya. Dalam gereja etnis pun tetap ditemukan kelompok jemaat dari
etnis atau suku yang berbeda. Dengan kata lain, dalam gereja dengan
identitas mono-kultur, jika ditelusuri, tetap terdiri dari jemaat multi-kultur.
Dua alasan di atas menunjukkan bahwa insight dari model pendidikan
multikultural bisa membantu seorang pengkhotbah untuk mempersiapkan
dan menyampaikan khotbah yang lebih inklusif.